Ahad, 11 Oktober 2009

Hadis Kelebihan Bilal Masjid (Muazzin)

BILAL / TUKANG AZAN

والمأذّن يغفر له يمدّ صوته ويصدّقه من سمعه من رطب وياءس وله مثل أجر من صلّى معه.


Maksudnya :-
Orang yang melaungkan azan, diampunkan untuknya ke tahap suaranya sampai. Setiap benda basah dan kering yang mendengarnya akan membenarkannya. Dia mendapat pahala orang yang solat bersamanya. ( Shahih Al Nasai )


MENYEBUT SEPERTI YANG DISEBUTKAN BILAL /TUKANG AZAN

قل كم يقولون فاذا انتهيت فسل تعطه.


Maksunya :-
Sebutlah seperti yang disebutkan oleh tukang azan. Sekiranya telah selesai mintalah kepada Allah pasti akan diberi. ( HR Abu Daud, Hasan Shahih)


من قال حين يسمع النّداء " اللهمّ ربه هذه الدعوة التامة والصلاة القاءيمة آ ت محمّدا الوصيلة والفضيلة وابعثه مقامامحمودا الذي وعدّته " ّحلّت له شفاعتي يوم القيامة.


Maksudnya :-
Sesiapa berkata selepas mendengar azan, Allahumma rabbahazihid da’watit taammati was solaatil qaaimah, aati muhammadanil wasiilata wal fadhiilah, wab’athhu maqaamam mahmuudanil lazi wa’attah, ( Ya Allah, Tuhan yang mensyariatkan seruan azan dan sembahyang yang akan didirikan, kurniakanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan kehormatan, dan letakkanlah baginda di tempat yang terpuji yang telah Engkau jajikan ) pasti syafaatku merangkuminya pada hari kiamat. (HR al Bukhari no.579)

Manhaj Dan Rujukan Blog

Seruan
1. Mempelajari, memahami, kemudian mengamalkan Kitabullah (Al-Qur’anul Karim) dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sesuai dengan pemahaman para shahabat, tabi’in, atba’ut tabi’in, dan para ulama yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Karena hanya dengan kembali kepada pemahaman mereka kita akan menjadi orang yang senantiasa mendapatkan pertolongan dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Sehingga selamat dari kesalahan dan terpesong dalam memahami Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
2. Berpegang teguh dengan tali Allah (Al-Qur’an) dan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan senantiasa komitmen mengamalkannya di tengah gelombang fitnah di zaman modern dan globalisasi ini, yang mayoriti manusia tidak kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah (hadits) beliau yang shahih.
3. Beraqidah dan berkeyakinan sesuai dengan apa yang diyakini oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat beliau. Sehingga kita selamat dari pelbagai keyakinan khurafat, yang banyak tersebar di tengah-tengah masyarakat yang tidak berlandaskan kepada ajaran Islam yang original yakni sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
4. Memperingatkan dari bahaya bid’ah dan ahlul bid’ah (penyeru bid’ah), yaitu orang-orang yang menyeru kepada ajaran-ajaran yang diada-adakan dalam agama ini kemudian dia mengatasnamakan sebagai ajaran Islam, padahal sangat jauh bertentangan dengan Islam.
5. Mengajak untuk tidak ta’ashub (fanatik buta) kepada seseorang kecuali hanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Menjauhi taklid dan ta’ashub kepada tokoh atau ulama tertentu sahaja.
Marilah kita menghayati dan mengamalkan nasehat para imam seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i rahimahullah yang berkata: “Apabila shahih suatu hadits maka itulah madzhabku (ajaranku)”
Dan Imam Malik berkata:
“Saya hanyalah manusia (biasa) kadang salah kadang benar, maka lihatlah pendapat saya, setiap yang sesuai dengan kitabullah (al-Qur’an) dan sunnah (ajaran Rasulullah) maka ambillah, dan yang tidak sesuai kitabullah dan sunnah maka tinggalkanlah.”
6. Mengikhlaskan seluruh ibadah kita hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, dengan tidak mencampurkannya dengan kesyirikan baik syirik akbar (besar) maupun syirik ashghar (kecil).
7. Mengajak kaum muslimin pada umumnya ahlussunnah wal jama’ah khususnya untuk saling ta’awun (saling membantu) dan menyatukan kalimat di atas manhaj dan aqidah Rasulullah dan para shahabatnya. Dan memperingatkan umat dari bahayanya bid’ah, aqidah dan manhaj yang menyelisih Rasulullah dan para shahabatnya.
Selepas kita bersatu di atas aqidah dan manhaj yang shahih (benar) yang jauh dari penyelisihan dan penyimpangan, maka marilah kita saling lapang dada dalam menghadapi perbezaan-perbezaan dan khilaf yang bukan prinsipil yang para shahabat dan ulama sebelum kita hingga sekarang berbeza pendapat dalam permasalahan tersebut.
Karena masalah khilaf di kalangan para ulama ada dua:
1. Permasalahan yang tidak ada ijtihad padanya, di mana perkaranya jelas yang tidak ada udzur bagi seseorang untuk menyelisihinya.
2. Permasalahan yang ulama atau seseorang boleh berijtihad padanya, yang mana diberi udzur kepada seseorang yang yang berbeza pendapat di dalamnya. Berkata Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah (dalamKitab Al-Ilmu) : “Adapun orang-orang yang menyelisihi jalannya para salaf seperti permasalahan aqidah, maka tidak diterima seseorang untuk menyelisihi apa yang diyakini oleh salafush shalih (Rasulullah dan para shahabatnya). Akan tetapi dalam permasalahan yang lain yang ada pendapat dan ijtihad (ijtihad ulama) padanya, maka tidak sepantasnya dijadikan perbedaan tersebut sebagai math’an (untuk mencela) yang lain (yang berbeda pendapat dengannya) atau dijadikan sebagai sebab permusuhan dan kebencian.”